Semua manusia sebenarnya memiliki Nur Allah didalam dirinya. Hanya saja kesalahan dalam sitem pendidika, sosial, budaya dan lingkungan telah menciptakan hijab-hijab yang menutupi cahaya ketuhanan tersebut. Pendidikan harusnya berperan mencabut hijab-hijab yang mengotori hati tersebut.
Sering kali kita mendengar seorang guru atau orang tua yang mengecap seorang anak bodoh. Perkataan itu mudah terucap semudah membalik telapak tangan. Mengapa Si Bodoh seringkali dibenci dan dikucilkan oleh lingkungan? Siapa sebenarnya yang mereka anggap bodoh itu? tepatkah julukan itu tertuju pada mereka?
Anak dikatakan bodoh apabila kurang minat dalam belajar akademik, serimg gaduh, malas, bertanya yang nyleneh-nyleneh, ramai dan tidak taat pada aturan. Biasanya seringkali diikuti dengan nilai akademik yang relatif rendah. Sebalinya anak dikatakan pandai atau pintar jika nilai akademiknya bagus khususnya nilai pelajaran IPA dan matematika, berjalan sesuai aturan, diam dan sering mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan pada mereka. Tapi pernahkah para penjuluk anak bodoh berpikir?
Amin memiliki nilai matematika dan IPA dengan rata-rata 4 namun dia mahir memainkan gitar dan pianika, sedangkan Soni memiliki nilai matematika dan IPA dengan rata-rata 8,5 tapi dia tidak bisa memegang apalagi memainkan gitar dengan baik. Saya yakin pasti guru menilai Amin adalah anak yang bodoh dan Soni anak yang pandai. Karena ukuran pandai dan bodoh hanya berorientasi pada niali akademik dan nilai IQ saja. Padahal menurut saya jika dilihat dari 2 sisi yang berbeda bisa dikatakan keduanya anak yang pandai. Hanya saja kepandaian yang dimiliki/ kompetensi yang ada dalam diri masing-masing anak berbeda.
“Di Indonesia ini ada 4 orang Rudi yang cerdas dan pandai (1). Rudi B.J Habibi yang ahli dalam rancang bangun pesawat, (2). Rudi Hartono yang mahir dalam bermain bulu tangkis, (3). Rudi Khairuddin yang ahli dalam membuat resep masakan dan (4). Rudi Hadisuwarno yang ahli dalam tata rias” unggkap Kak Seto selaku pemerhati pendidikan anak. Jika para orang tua dan guru tahu bahwa setiap anak adalah unik dan pandai maka mereka akan merasa malu saat mengecap seorang anak dengan sebutan Si Bodoh.
Yang paling penting bagi para pendidik saat ini bagaimana cara kita melakukan pendekatan personal pada si anak yang dianggap bodoh atau jika lebih beruntung si anak disebut bermasalah agar belajar itu menjadi asyik dan bermakna bagi mereka. Memandaikan satu dua anak pandai sudah biasa, tapi memandaikan anak yang dianggap bermasalah meskipun satu anak begitu berat. Mudah-mudahan kita adalah pengajar dan pendidik yang peduli dan adil pada semua anak didik kita. Tidak ada kata pandai dan tidak ada kata bodoh karena semua anak pada dasarnya adalah Fitrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar